Nurmadjito, SH, MH.
Jakarta - Kali ini Indonesia menggebrak publik dengan menelorkan satu produk
hukum berupa Undang-undang yang memuat ratusan pasal dengan cara
mencangkok beberapa pasal dari berbagai undang-undang dan dikumpulkan
dalam satu rumah undang-undang disebut Undang-Undang tentang Cipta
Kerja.
Hal ini dapat dicatat, Undang-undang ini sebagai
upaya penataan ulang berbagai aturan yang tidak mungkin bisa dilakukan
bilamana harus mengubah beberapa Undang-undang dalam waktu yang singkat.
Dari judul yang diberikan mengandung arti bahwa maksud penyatuan
berbagai materi muatan dalam satu rumah undang-undang atau dalam satu
bus memuat materi yang memiliki tujuan sama, yaitu penggerak ekonomi
nasional.
Bagi Pemerintah melakukan penataan ulang dari berbagai peraturan perundang-undangan adalah bukan hal baru. Di masa lampau, kita senantiasa mengenal sebutan deregulasi dan dibirokratisasi saat pemerintah merasakan bahwa dampak perkembangan perekonomian global akan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional. Tahun 1985, Pemerintah memandang arus lalu lintas barang ekspor dan impor ternyata terhambat dan diketahui simpul kemacetan berada di institusi kepabeanan.
Pemerintah
terpaksa memindahkan pemeriksaan barang impor di pelabuhan di negara
dimana produk itu akan diimpor ke Indonesia. Pemeriksaan dilakukan oleh
surveyor asing yang ditunjuk Pemerintah. Kebijakan monumental tersebut
diatur dalam Instruksi Presiden No 4 Tahun 1985 yang didalamnya terdapat
berbagai perintah untuk mengamandemen Undang-undang yang dipandang
menghambat arus kelancaran barang impor dan ekspor.
Kini,
sejak reformasi tahun 1999 Indonesia belum melakukan tindakan apapun
padahal situasi perekonomian global telah mengalami berbagai perubahan.
Sehingga cukup alasan bagi DPR dan pemerintah melakukan deregulasi dan
kemungkinan nantinya akan terjadi debirokratisasi. Tidak ada hal yang
luar biasa terbitnya UU Cipta Kerja.
Tujuan yang paling
universal dapat disebutkan melakukan pembaharuan aturan untuk merespon
perubahan lingkungan strategik, pada lingkungan geopolitik maupun
geoekonomi di tingkat nasional, regional dan global. Keputusan politik
DPR itu sangat jelas bertujuan untuk memenuhi kebutuhan negara dan
mendukung kebijakan pembangunan ekonomi yang tuntunannya tersurat dalam
Pasal 33 UUD 1945.
Pengembangan ekonomi nasional itu membutuhkan ekosistem yang menuntun perlunya perubahan pengaturan yang selama ini diatur di berbagai undang-undang sektor. Keberadaan undang-undang sektor berserakan di banyak sektor sehingga menumbuhkan ego sektoral, tumpang tindih, tidak ada harmonisasi dan sinkronisasi. Kondisi seperti itu sering kita sebut dengan tidak efisien dan highcost. Penataan ulang melalui model hukum Omnibus Law ini adalah hal yang paling mungkin untuk menjembatani mengembangkan sektor ekonomi riil.
Sangat jelas UU Cipta Kerja memberikan porsi cukup besar bagi pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Klaster yang cukup besar disediakan bagi UMKM untuk berkembang dan berperan dalam kegiatan ekonomi. Setidaknya terdapat 7 (tujuh) Undang-undang sektor dicangkokan dalam UU Cipta Kerja untuk mendukung gerak usaha UMKM. Seperti UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM, UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, UU No, 45 Tahun 2009 Jo. UU No 32 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan, UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, UU No, 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
Ditambah dengan 9 (Sembilan) materi yang
dikreasikan menjadi materi muatan UU Cipta Kerja yang selama ini belum
diatur setingkat undang-undang. Seperti, jaminan mengakses perkreditan
sejalan dengan program pensertifikatan yang sudah dilakukan. penataan
klaster menuju satu rantai produk UMKM, penyederhanaan administrasi dan
insentif perpajakan, Dana Alokasi Umum, kewajiban pemerintah
mengalokasikan untuk pengadaan barang dan jasa, mewajibkan pengusaha Tol
menyediakan tempat di rest area untuk usaha dan promosi UMKM, klaster
dalam Kawasan Ekonomi Khusus dan sebagainya.
Dari ceruk yang disediakan undang-undang ini menunjukkan sikap jelas politik hukum DPR memajukan ekonomi nasional melalui pemberian peran yang luar biasa kepada UMKM. Begitu Presiden mensahkan RUU ini menjadi Undang-undang tentang Cipta Kerja, bola berada di wilayah eksekutif untuk menindak lanjuti dengan berbagai peraturan pelaksanaan dan sebagai pengganti peraturan pemerintah yang sudah tidak sejalan dengan materi UU Cipta Kerja dan tentunya tidak lepas kemungkinan pemerintah melakukan debirokratisasi. Ini bukti infrastruktur phisik telah diimbangi dengan infrastruktur non phisik.
Penulis : Nurmadjito, SH, MH
Pendiri LBH KORPRI