oleh : Suparto Wijoyo
Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan
Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga
GEMPITA pilkada gemuruhnya tengah memekakkan telinga publik. Mimpi dan imaji dibaurkan dalam “pentas demokrasi” sebagai arena memanggungkan janji-janji. 171 daerah membentuk formasi menyongsong “suksesi kepemimpinan lokal” berbiaya tinggi. Fenomena mahar politik tidak terbendung memenuhi jalan rekomendasi partai. Sengkurat kian beranjak dengan paslon-paslon yang tertindih derap korupsi dari ruang kesumat tahta dan harta. OTT KPK terberitakan dalam pekabaran tanpa jeda atas problema “kerakusan” paslon pilkada. Partai-partai tampak menarasikan “kesuciannya”, sementara rakyat senantiasa mendapatkan suguhan mengenai “najisnya” pergulatan pasangan. Mahalnya sesi perhelatan pilkada mengkonstruksi ingatan yang konklusif betapa “berharganya jabatan”. Apalagi posisi kepala negara. Pilpres tidak mungkin menafikan diri bebas dari “kerumunan persekutuan bandar”. Itulah yang mudah dieja oleh khalayak di kala membaca lembar demi lembar kisah jelang coblosan di bentara pilkada.
Semua lantas menoleh ke arah puncak otoritas negara. Kepala pemilihmencoba mendongak ke panggung Istana Negara. Presiden dipilih dengan ongkos triliunan rupiah sebagaimana yang dianggarkan KPU, sehingga warga negara terpanggil menyimak kinerjanya. Pilkada 2018 pun tidak imun dari sorotan hajatan pilpres 2019 dengan kelindan jargon “tahun politik”. Singgungan kekuasaan antara petugas partai sampai pemegang mandat rakyat disematkan kepada semua paslon pilkada. Rakyat kini menyaksi perwujudan visi-misi pemimpin yang kehadirannya disorong melalui “lelehan energi” gelembung voters. Situasinya musti terkendali meskipun “bau anyir tumpahnya darah ulama” oleh “komunitas orang gila” sudah mewarnai hangatnya pilkada. Penguasa boleh menampik tetapi singgahnya persepsi tidak bisa dihalau dengan sekali tarik.
Ontran-ontran pilkada tidak pernah terjadi di lorong hampa melainkan timbul akibat tidak hadirnya keadilan di benak umat. Meningkatnya pendapatan merupakan hal mudah diujarkan melalui kata kunci yang harus disuarakan paslon pilkada. Ramainya masa kampanye kerap membuka tabir gelombang terkuaknya capaian “kata-kata sakti yang terkesan magis”: Nawacita. Presiden selaku “pemanggul nawacita” pasti bekerja keras dengan mengobarkan semangat Ayo Kerja.
Sejak mula Nawacita merupakan keluhuran untuk “menggendong” bangsa ini penuh hormat. Sembilan program prioritas ditetapkan menjadi inti dari RPJMN yang harus dipedomani, dan daerah sibuk terpotret mensinergiskan dalam RPJMD. Nawacita menyemburatkan Trisakti: berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Sungguh Nawacita sangatlah heroik dan menggelorakan hadirnya negara untuk melindungi segenap bangsa sebagaimana dimandatkan UUD 1945. Kata segenap bangsa dan seluruh tumpah darahyang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah pesan paling suprematif dalam kepemimpinan nasional. Negara membentuk pemerintahan untuk melindungi segenap (bukan seganjil) dan seluruh (bukan sebagian) tumpah darah NKRI. Namun fakta bernegara yang terbentang tidak dapat diabaikan telah memberi titik noktah kinerja di “kelambu” nawacita.
Permasalahan kesehatan di Papua, beras impor, hutang yang meninggi, dan “tragedi ekologis” dari teritori pertambangan transnasional, misalnya, merupakan “sisi kecil” dari rona politik yang terberitakan. Tetapi yakinlah keberadaannya seperti “slilit di gigi setiap orang” usai pesta. Sekecil apapun “slilit” itu pastilah mengguncangkan, apalagi slilit “kehancuran areal konservasi akibat invasi menjarah hutan”. Pembangunan infrastruktur baik adanya selama mampu memadukan kepentingan ekonomi-ekologi dan sosial secara integral sesuai prinsip sustainable development. Pasal 28H UUD 1945 merupakan penanda constitutional-rights dimana setiap warga negara berhak bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Azab limbah industri yang mencemari lingkungan memposisikan negara alpa dengan pesan UUD 1945.
Perhatikanlah di setiap daerah, ada orang mengalami gangguan kesehatan: terkena ispa, iritasi mata, asupan oksigen yang kurang, dan paru-paru yang terancam. Korban mengalami derita kolektif yang dalam jangka panjang membahayakan NKRI: bonus demografi terancam menjadi beban ekologi. Apabila “penjarahan lahan” dan pencemaran terus diritualkan, dikhawatirkan pada saat satu abad proklamasi nanti, NKRI menyeret warganya ke depan pintu gerbang penderitaan. Negara tidak boleh lalai pada pesan hukum tertinggi dengan menundukkan diri pada para “pemburu kuasa di daerah” maupun “komprador global”.
Regulasi negara memberi otoritas penuh kepada aparatur untuk mengelola lingkungan. Mekanisme pengawasan sampai ganti rugi dirumuskan. Pejabat yang berwenang mengawasi tetapi tidak melakukannya dianggap bertindak kriminal. Dalam kasus ini, publik pasti dirugikan, dan pemerintah diberi alas hukum untuk mengajukan gugatan. Berbagai aturan nasional pun telah mengakui hak masyarakat hukum adat (MHA). Praktek pertambangan dan kehutanan menyuguhkan data negara acapkali menyingkirkannya. MHA sering dikebiri dan diadu melakukan “perang saudara”. Setiap putusan perizinan dan pemberian hak-hak pertambangan tak boleh membungkam akses data kepada MHA. Pasal 33 UUD 1945 mestinya dicetak tebal bahwa SDA dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengapa daerah kaya tambang, rakyatnya miskin. Mengapa negara mengalami amnesia pasal tersebut sehingga di dunia pertambangan terpotret rakyat daerah tidak mendapatkan sebesar-besarnya kemakmuran, tetapi hanya sekecil-kecilnya. Kata sebesar-besarnya itu tidak perlu tafsir, karena secara statistik dan matematik mudah dikonstruksi. Mengapa norma konstitusi diingkari oleh perangkat hukum pertambangan. Tegaskan bahwa korporasi yang tidak mau berbagi sebesar-besarnya untuk NKRI, pastikan saja tidak dibutuhkan. Kontrak, perjanjian, atau ikatan hukum apapun yang dibuat tidak adil dan tidak mensejahterakan rakyat harus diubah. Itulah makna negara hadir gunamemakmurkan rakyatnya.
Nawacita sejatinya telah memberi bobot komitmen bahwa melukai Ibu Pertiwi adalah tindakan nista. Penyelenggara pemerintahan wajib menjunjung amanat penderitaan Ibu Pertiwi, yang rahimnya dikeruk dengan kerukan yang memilukan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, maupun Papua.
Untuk itulah, jangan lupakan pidato-pidato Bung Karno yang mengajarkan nasionalisme, mengajarkan jasmerah. Terhadap janji-janji dokumenter yang terbungkus di Nawacita,menjadikan saya teringat kembali Pidato Bung Karno pada peringatan Hari Kebangunan Nasional, 20 Mei 1952 yang berjudul Setialah Kepada Sumbermu. Pidato itu niscaya memukau: “ … mengalirlah sungai itu terus … mengalirlah ia terus, dengan kita di dalamnya, dengan generasi yang akan datang pun di dalamnya, mengalirlah ia terus, ke lautan besar – lautan besarnya keagungan bangsa, lautan besarnya kesentosaan negara, lautan besarnya kesejahteraan masyarakat, lautan besarnya kebahagiaan kemanusiaan … door de zee op te zoeken, is de rivier trouw aan haar bron – dengan mengalirnya ke lautan, sungai setia kepada sumbernya”.
Bagaimana kebesaran negara dan ajaran Trisakti bisa dijaga martabatnya dengan hutang yang terus menumpuk serta pilkada yang menyemburatkan “drama demokrasi” biaya tinggi. Masih ada waktu untuk turut memendarkan komitmen menjalankan Nawacita yang berkesejatian, yang setia kepada sumbernya. Akhirnya, kuselipkan lantun puitis Jose M.A. Capdevilla yang dikutip Mochtar Lubis:
Aqui tengo una voz enardecida
Aqui tengo una vida combatida y airada
Aqui tengo un rumor, aqui tengo una vida
Ini suaraku yang meradang
Ini hidupku penuh perjuangan dan amarah
Ini pesanku, ini hidupku ....
Tags:
POLITIK