Konferensi Pers BPH Migas soal penyelewenagan distribusi solar subsidi. Foto : Humas. |
JAKARTA - Badan
Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), menemukan adanya
ketidakpatuhan dalam penyaluran Jenis BBM Tertentu, jenis solar
bersubsidi kepada konsumen. Akibatnya, konsumsi solar di prediksikan
akan melebihi kouta yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 14,5 juta kiloliter (KL).
Untuk itu BPH Migas mengeluarkan surat edaran ke Direktur Utama Pertamina untuk melakukan pengaturan pengendalian pembelian jenis BBM tertentu jenis solar. Surat edaran itu berlaku efektif mulai 1 Agustus 2019.
Dalam surat edaran tersebut, BPH Migas secara resmi melarang pembelian solar bersubsidi bagi kendaraan pengangkutan hasil perkebunan, kehutanan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam baik dalam kondisi bermuatan atan tanpa muatan.
Selain itu BPH Miga juga melarang penggunaan solar untuk kendaraan bermotor dengan tanda nomor kendaraan atau pelat berwarna dasar merah, mobil TNI/Polri, dan sarana transportasi air milik pemerintah. Larangan serupa juga berlaku untuk mobil tangki BBM, Crude Palm Oil (CPO), dump truck, truck trailer, truk gandeng dan mobil pengaduk semen.
PT Pertamina, sebagai pihak penyalur juga diminat BPH Migas untuk tidak melayani pembelian solar untuk konsumen pengguna usaha mikro, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi air yang menggunakan motor tempel dan pelayanan umum tanpa menggunakan surat rekomendasi dari instansi berwenang.
BPH Migas juga mengatur maksimal pembelian Solar untuk angkutan barang roda empatsebanyak 30 liter per kendaraan per hari, roda enam atau lebih sebanyak 60 liter per kendaraan per hari dan kendaraan pribadi sebanyak 20 liter per kendaraan per hari.
Dalam surat edaran yang teken Kepala BPH Migas, M. Fanshurullah Asa itu meminta PT. Pertamina untuk mengatur titik lokasi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang mendistribusikan Solar subsidi dengan mempertimbangkan sebaran konsumen pengguna termasuk pengaturan alokasi ke masing-masing SPBU.
Untuk mengantisipasi terjadinya antrean di SPBU, Pertamina wajib menyediakan BBM nonsubsidi, Pertamina Dex dan Dexlite. Sedangkan untuk mengawasi penyaluran solar bersubsidi, BPH Migas juga meminta Pertamina untuk berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah TNI dan Polri.
Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa, menduga adanya kelebihan kouta untuk BBM jenis solar ini terjadi di sejumlah daerah yang industrinya sedang berkembang. Unutk itu pihaknya akdan melakukan penyelidikan terhadap 10 provinsi yang tingkat konsumsi solarnya sudah melampaui kouta. Ke 10 provinsi utu meliputi, Kalimantan Timur dengan kuota berlebih mencapai 124,6%, Kepulauan Riau (119,9%), Lampung (113%), Riau (111%), dan Sulawesi Tenggara (109,4%).
Selain itu kelebihan kouta juga terjadi di Sulawesi Barat (109,2%), Sumatera Barat (108,8%), Sulawesi Selatan (108,8%), Jawa Timur (108,7%) serta Bangka Belitung (108,3%). “BPH Migas akan melaksanakan pengawasan di wilayah yang patut diduga potensi penyimpangan. Solar subsidi diduga diselewengkan ke perkebunan dan pertambangan,”ujar Fanshurullah di kantornya, Rabu (21/8).
Program Nozzele Atasi Penyelewengan
Kedepan agar penyelewengan tidak terjadi lagi, BPH Migas meminta Pertamina segera merampungkan program nozzle atau digitalisasi pencatatan jual-beli solar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Sebenarnya, penandatanganan kerja sama program digitalisasi nozzle antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk sudah dilakukan pada 31 Agustus 2018. Tujuannya untuk meningkatkan pengawasan BBM bersubsidi (minyak solar) dan BBM penugasan (Premium) yang akan memasang digitalisasi pada 5.518 SPBU di seluruh Indonesia.
Fanshurullah Asa, mengatakan, dari target 5.518 SPBU dalam program digitalisasi noozle, hingga Juni tahun ini baru terealisasi sekitar 1.327 SPBU. “Sisanya akan diselesaikan hingga akhir Desember 2019,” ujar Ifan, panggilan akrab Fanshurullah Asa.
Hanya kata Ifan pengawasan secara efektif konsumen solar dan Premium melalui digitalisasi nozzle SPBU perlu dilengkapi dengan indentifikasi konsumen seperti nomor kendaraan dan jumlah pembelian. Saat ini, digitalisasi nozzle SPBU belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi konsumen, khususnya nomor kendaraan dan volume pembelian.
Untuk itu, kata Irfan, BPH Migas telah meminta kepada Menteri BUMN melalui surat agar mendorong Pertamina dapat mengimplementasikan sistem identifikasi konsumen dan volume pembelian pada digitalisasi nozzle SPBU agar dapat diigunakan untuk pengawasan BBM bersubsidi dengan efektif dan target digitalisasi nozzle SPBU sebanyak 5.518 SPBU dapat tercapai.
Kehadiran digitalisasi nozzle menurut Irfan merupakan upaya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penggunaan BBM subsidi yang mengakibatkan over kuota JBT solar.
Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas’ud Khamid, mengatakan, program digitalisasi nozzle memerlukan pemasangan alat ukur di tangki SPBU, pemasangan sensor di masing-masing pipa nozzle, dan pemasangan perangkat server untuk proses transaksi.
Mas’ud menyebut, pemasangan alat ukur di tangki dan pemasangan sensor sudah selesai dilakukan di 5.518 SPBU. Sementara pemasangan Electronic Data Capture (EDC) untuk proses transaksi baru tercapai 1.400 EDC dari target sebanyak 22 ribu. “Yang sudah terintegrasi, khususnya di Jakarta, 130 SPBU sudah terintegrasikan antara alat ukur, sensor, dan server untuk EDC, khusus Jakarta sudah selesai,” ujar Mas’ud.
Dengan digitalisasi nozzle, kata Mas’ud, Pertamina dapat memonitor keseluruhan transaksi pembelian BBM, baik dari konsumen maupun dari SPBU yang mengambil BBM dari Terminal BBM (TBBM) Pertamina. Dengan begitu, Pertamina akan lebih cepat mengetahui stok BBM di SPBU yang sudah menipis untuk segera dikirim kembali agar tidak terjadi kelangkaan. “Dengan adanya digitalisasi nozzle stok akan terjaga. Kita juga jadi tahu SPBU mana yang penjualan BBM subsidi tidak wajar. Misal ambil sekian liter dari TBBM tapi kok jualnya lebih banyak,” ucap Mas’ud.
Selain itu Pertamina juga akan mengetahui data dan pembelian BBM yang dilakukan konsumen. Selanjutnya, pada 2020, Pertaminan akan masuk ke nomor kendaraan. Pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan Kakorlantas untuk minta data kendaraan, dan nomor pelat. “Kedepan kita akan integrasikan, kami akan tahu siapa pembeli BBM dan tahu di mana dia beli,” ujar Mas’ud.
Diakui Mas’ud penggunaan digitalisasi nozzle yang dinilai cukup terlambat. Pertamina memproyeksikan digitalisasi nozzle dapat terealisasi pada akhir Desember 2019. Alasannya, menurut Mas’ud, lantaran kondisi dan konstruksi SPBU-SPBU yang ada merupakan SPBU tua sehingga proses pengerjaannya harus hati-hati.
Mas’ud menyampaikan rata-rata tangki yang ada di SPBU tidak memiliki alat ukur ataupun soket untuk pemasangan alat ukur. “Rata-rata tangki SPBU kita tidak ada alat ukur atau socket, jadi Telkom harus mengakali. Waktu pengerjaan juga saat SPBU tutup sekitar pukul 10 malam hingga pukul 5 pagi sebelum SPBU beroperasi agar SPBU juga tetap bisa jualan,” kata Mas’ud menambahkan.
Ketua Umum DPP Hiswana Migas Rachmad mendukung program digitalisasi nozzle. Namun kendala terbesar lantaran kebanyakan fasilitas SPBU di Indonesia sangat beragam dan memiliki umur operasi yang relatif tua. “Kebanyakan tangki timbun maupun mesin sudah lama dan SPBU disejumlah daerah masih menggunakan mesin kuno. Dengan omset yang ada, mereka berat beli alat baru, “ kata Rachmad. (WID)
Untuk itu BPH Migas mengeluarkan surat edaran ke Direktur Utama Pertamina untuk melakukan pengaturan pengendalian pembelian jenis BBM tertentu jenis solar. Surat edaran itu berlaku efektif mulai 1 Agustus 2019.
Dalam surat edaran tersebut, BPH Migas secara resmi melarang pembelian solar bersubsidi bagi kendaraan pengangkutan hasil perkebunan, kehutanan dan pertambangan dengan jumlah roda lebih dari enam baik dalam kondisi bermuatan atan tanpa muatan.
Selain itu BPH Miga juga melarang penggunaan solar untuk kendaraan bermotor dengan tanda nomor kendaraan atau pelat berwarna dasar merah, mobil TNI/Polri, dan sarana transportasi air milik pemerintah. Larangan serupa juga berlaku untuk mobil tangki BBM, Crude Palm Oil (CPO), dump truck, truck trailer, truk gandeng dan mobil pengaduk semen.
PT Pertamina, sebagai pihak penyalur juga diminat BPH Migas untuk tidak melayani pembelian solar untuk konsumen pengguna usaha mikro, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi air yang menggunakan motor tempel dan pelayanan umum tanpa menggunakan surat rekomendasi dari instansi berwenang.
BPH Migas juga mengatur maksimal pembelian Solar untuk angkutan barang roda empatsebanyak 30 liter per kendaraan per hari, roda enam atau lebih sebanyak 60 liter per kendaraan per hari dan kendaraan pribadi sebanyak 20 liter per kendaraan per hari.
Dalam surat edaran yang teken Kepala BPH Migas, M. Fanshurullah Asa itu meminta PT. Pertamina untuk mengatur titik lokasi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang mendistribusikan Solar subsidi dengan mempertimbangkan sebaran konsumen pengguna termasuk pengaturan alokasi ke masing-masing SPBU.
Untuk mengantisipasi terjadinya antrean di SPBU, Pertamina wajib menyediakan BBM nonsubsidi, Pertamina Dex dan Dexlite. Sedangkan untuk mengawasi penyaluran solar bersubsidi, BPH Migas juga meminta Pertamina untuk berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah TNI dan Polri.
Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa, menduga adanya kelebihan kouta untuk BBM jenis solar ini terjadi di sejumlah daerah yang industrinya sedang berkembang. Unutk itu pihaknya akdan melakukan penyelidikan terhadap 10 provinsi yang tingkat konsumsi solarnya sudah melampaui kouta. Ke 10 provinsi utu meliputi, Kalimantan Timur dengan kuota berlebih mencapai 124,6%, Kepulauan Riau (119,9%), Lampung (113%), Riau (111%), dan Sulawesi Tenggara (109,4%).
Selain itu kelebihan kouta juga terjadi di Sulawesi Barat (109,2%), Sumatera Barat (108,8%), Sulawesi Selatan (108,8%), Jawa Timur (108,7%) serta Bangka Belitung (108,3%). “BPH Migas akan melaksanakan pengawasan di wilayah yang patut diduga potensi penyimpangan. Solar subsidi diduga diselewengkan ke perkebunan dan pertambangan,”ujar Fanshurullah di kantornya, Rabu (21/8).
Program Nozzele Atasi Penyelewengan
Kedepan agar penyelewengan tidak terjadi lagi, BPH Migas meminta Pertamina segera merampungkan program nozzle atau digitalisasi pencatatan jual-beli solar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Sebenarnya, penandatanganan kerja sama program digitalisasi nozzle antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk sudah dilakukan pada 31 Agustus 2018. Tujuannya untuk meningkatkan pengawasan BBM bersubsidi (minyak solar) dan BBM penugasan (Premium) yang akan memasang digitalisasi pada 5.518 SPBU di seluruh Indonesia.
Fanshurullah Asa, mengatakan, dari target 5.518 SPBU dalam program digitalisasi noozle, hingga Juni tahun ini baru terealisasi sekitar 1.327 SPBU. “Sisanya akan diselesaikan hingga akhir Desember 2019,” ujar Ifan, panggilan akrab Fanshurullah Asa.
Hanya kata Ifan pengawasan secara efektif konsumen solar dan Premium melalui digitalisasi nozzle SPBU perlu dilengkapi dengan indentifikasi konsumen seperti nomor kendaraan dan jumlah pembelian. Saat ini, digitalisasi nozzle SPBU belum memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi konsumen, khususnya nomor kendaraan dan volume pembelian.
Untuk itu, kata Irfan, BPH Migas telah meminta kepada Menteri BUMN melalui surat agar mendorong Pertamina dapat mengimplementasikan sistem identifikasi konsumen dan volume pembelian pada digitalisasi nozzle SPBU agar dapat diigunakan untuk pengawasan BBM bersubsidi dengan efektif dan target digitalisasi nozzle SPBU sebanyak 5.518 SPBU dapat tercapai.
Kehadiran digitalisasi nozzle menurut Irfan merupakan upaya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penggunaan BBM subsidi yang mengakibatkan over kuota JBT solar.
Direktur Pemasaran Retail Pertamina Mas’ud Khamid, mengatakan, program digitalisasi nozzle memerlukan pemasangan alat ukur di tangki SPBU, pemasangan sensor di masing-masing pipa nozzle, dan pemasangan perangkat server untuk proses transaksi.
Mas’ud menyebut, pemasangan alat ukur di tangki dan pemasangan sensor sudah selesai dilakukan di 5.518 SPBU. Sementara pemasangan Electronic Data Capture (EDC) untuk proses transaksi baru tercapai 1.400 EDC dari target sebanyak 22 ribu. “Yang sudah terintegrasi, khususnya di Jakarta, 130 SPBU sudah terintegrasikan antara alat ukur, sensor, dan server untuk EDC, khusus Jakarta sudah selesai,” ujar Mas’ud.
Dengan digitalisasi nozzle, kata Mas’ud, Pertamina dapat memonitor keseluruhan transaksi pembelian BBM, baik dari konsumen maupun dari SPBU yang mengambil BBM dari Terminal BBM (TBBM) Pertamina. Dengan begitu, Pertamina akan lebih cepat mengetahui stok BBM di SPBU yang sudah menipis untuk segera dikirim kembali agar tidak terjadi kelangkaan. “Dengan adanya digitalisasi nozzle stok akan terjaga. Kita juga jadi tahu SPBU mana yang penjualan BBM subsidi tidak wajar. Misal ambil sekian liter dari TBBM tapi kok jualnya lebih banyak,” ucap Mas’ud.
Selain itu Pertamina juga akan mengetahui data dan pembelian BBM yang dilakukan konsumen. Selanjutnya, pada 2020, Pertaminan akan masuk ke nomor kendaraan. Pihaknya juga sudah berkoordinasi dengan Kakorlantas untuk minta data kendaraan, dan nomor pelat. “Kedepan kita akan integrasikan, kami akan tahu siapa pembeli BBM dan tahu di mana dia beli,” ujar Mas’ud.
Diakui Mas’ud penggunaan digitalisasi nozzle yang dinilai cukup terlambat. Pertamina memproyeksikan digitalisasi nozzle dapat terealisasi pada akhir Desember 2019. Alasannya, menurut Mas’ud, lantaran kondisi dan konstruksi SPBU-SPBU yang ada merupakan SPBU tua sehingga proses pengerjaannya harus hati-hati.
Mas’ud menyampaikan rata-rata tangki yang ada di SPBU tidak memiliki alat ukur ataupun soket untuk pemasangan alat ukur. “Rata-rata tangki SPBU kita tidak ada alat ukur atau socket, jadi Telkom harus mengakali. Waktu pengerjaan juga saat SPBU tutup sekitar pukul 10 malam hingga pukul 5 pagi sebelum SPBU beroperasi agar SPBU juga tetap bisa jualan,” kata Mas’ud menambahkan.
Ketua Umum DPP Hiswana Migas Rachmad mendukung program digitalisasi nozzle. Namun kendala terbesar lantaran kebanyakan fasilitas SPBU di Indonesia sangat beragam dan memiliki umur operasi yang relatif tua. “Kebanyakan tangki timbun maupun mesin sudah lama dan SPBU disejumlah daerah masih menggunakan mesin kuno. Dengan omset yang ada, mereka berat beli alat baru, “ kata Rachmad. (WID)