oleh Rasalama Aritonang
Pertengahan bulan lalu Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No.1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. PERMA tersebut merupakan upaya Mahkamah Agung untuk mengatasi persoalan disparitas putusan dalam perkara Tipikor. Sebagai ikhtiar memperbaiki kepastian hukum maka langkah Mahkamah Agung perlu diapresiasi. Meski demikian, beberapa catatan penting yang relevan dan masih menjadi perhatian perlu tetap disampaikan untuk memajukan praktik peradilan Indonesia.
Putusan Hakim
Doktrin pemisahan kekuasaan mensyaratkan adanya checks and balances melalui pemisahan struktur organisasi kekuasaan. Parlemen bertugas menyusun peraturan, pemerintah mengimplementasikan peraturan sedangkan pengadilan (yudikatif) menguji validitas tindakan yang dilakukan pemerintah dan warga negara.
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudisial bertugas mengejawantahkan norma undang-undang yang bersifat abstrak untuk dapat diterapkan pada kasus kongkret yang terjadi di masyarakat. Dalam praktik, hakim berupaya menemukan dan mengkostruksikan hukum melalui putusannya. Di negara modern, putusan hakim selain menjadi pedoman masyarakat juga merupakan sumber penting dalam menyusun perubahan peraturan perundang-undangan, sebaliknya aturan yang diterbitkan legislator menjadi rujukan hakim dalam menguji kasus yang diajukan.
Secara teoritis, dialektika antara putusan dan peraturan akan mendorong dinamika pembaharuan hukum yang berkelanjutan. Sayangnya, proses semacam ini tidak terjadi dalam hukum Indonesia. Ada beberapa fenomena yang melatarbelakangi. Pertama, “keyakinan hakim” yang menjadi dasar prerogatif dalam mengambil putusan seolah dianggap memberikan kebebasan yang tidak terbatas bagi hakim dalam memutus suatu perkara pidana. konsekuensinya terdapat berbagai variasi putusan yang inkonsisten dalam kasus sejenis.
Kedua, kegagalan hakim menyusun argumentasi yang logis dan meyakinkan dalam pertimbangan putusan, sehingga tidak mungkin dipedomani oleh hakim lain, publik maupun pembuat aturan. Ketiga, kurangnya integritas hakim menyebabkan rendahnya legitimasi sosial terhadap putusan pengadilan. Dalam konteks persoalan tersebut, produktivitas Mahkamah Agung menerbitkan PERMA tidak boleh mengesampingkan prioritas utama untuk menyelesaikan berbagai persoalan substansial tersebut.
Pedoman Pemidanaan
Pada hakikatnya hukum bekerja dalam sistem yang rasional. Konsekuensinya praktik penegakan hukum termasuk penyusunan putusan oleh hakim harus dilaksanakan secara logis. Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (negatief wettelijk).
Ketentuan tersebut harus dimaknai bahwa “keyakinan hakim” tidak bersifat ekstase, melainkan harus lahir dari kesadaran dan logika pikir yang benar. “Keyakinan hakim” merupakan resultan dari fakta dan bukti yang diuji dan dinilai berdasarkan prosedur yang diatur dalam undang-undang. “Keyakinan hakim” tersebut harus dapat dijelaskan dalam putusan sehingga masyarakat dapat memahami rasionalitas keadilan yang diyakini oleh hakim. Dengan demikian, kendatipun terjadi disparitas dalam pemidanaan tidak akan menjadikannya persoalan, karena tersedia argumentasi logis yang menjadi justifikasi pemidanaan.
Kegagalan dalam menjelaskan rasionalitas keadilan dalam berbagai putusan pengadilan pada gilirannya telah memaksa Mahkamah Agung menerbitkan PERMA No.1 Tahun 2020. PERMA berlaku mengikat bagi hakim dalam menerapkan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Di dalamnya diatur kategori kerugian negara, mulai dari ringan, sedang, berat dan paling berat. PERMA juga mengatur kategori tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan yang dibagi dalam tiga aspek yaitu tinggi, sedang dan ringan. Keadaan yang memberatkan dan meringankan juga diatur spesifik dan mengikat dalam PERMA, meskipun berdasarkan pasal 13 ayat (2) hakim masih dimungkinkan menambah keadaan lain secara kasuistis di luar PERMA.
Kategori, aspek dan keadaan yang telah ditentukan oleh hakim tersebut secara mekanis akan terkonversi dengan besaran hukuman pidana yang termuat dalam PERMA. Dengan demikian, PERMA seharusnya telah menyelesaikan persoalan kepastian hukum terkait penerapan pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor yang selama ini menjadi kritik masyarakat. Sayangnya, PERMA masih meninggalkan persoalan disparitas putusan yang juga terjadi dalam penerapan delik suap, apalagi dalam UU Tipikor terdapat duplikasi delik suap, misalnya pasal 5 ayat (2) dan pasal 12 huruf a, atau pasal 6 ayat (2) dan pasal 12 huruf c yang selalu menjadi perdebatan.
Sebagai perbandingan, di Amerika pedoman pemidanaan semacam ini juga digunakan oleh pengadilan. Hanya saja pedoman tersebut mencakup semua kejahatan yang dapat dipidana. Pedoman tersebut tidak disusun dan diterbitkan oleh Mahkamah Agung melainkan oleh US Sentencing Commission (USSC) semacam Komisi Pemidanaan yang dibentuk berdasarkan Sentencing Reform Act 1984.
Untuk pertama kalinya USSC mempublikasikan pedoman pemidanaan pada tahun 1987. USSC dipimpin oleh 7 orang komisioner terpilih yang diangkat oleh presiden atas persetujuan senat, 3 orang di antaranya harus hakim federal, sedangkan Jaksa Agung dan Ketua Komisi Pembebasan Bersyarat secara ex officio menjadi anggota komisi. USSC setiap tahunnya wajib melakukan review terhadap pedoman pemidanaan.
Amandemen pedoman pemidanaan dilakukan berdasarkan perkembangan putusan hakim, rekomendasi kongres dan usulan organisasi masyarakat. Review periodik yang dilakukan USSC merupakan cara untuk menjaga kualitas keadilan yang berkembang terus setiap waktu, suatu mekanisme yang tidak tersedia dalam PERMA No.1 Tahun 2020. Yang menarik dalam kasus United States v. Booker pada tahun 2005, Mahkamah Agung Amerika menyatakan bahwa pedoman pemidanaan yang diterbitkan oleh USSC bertentangan dengan konstitusi dan karenanya hakim diperbolehkan keluar dari pedoman pemidanaan sepanjang masih berpedoman pada lima prinsip utama pemidanaan yang diatur dalam 18. U.S.C. 3553 (a).
Kasus Booker menjadi koreksi terhadap pedoman pemidanaan dengan mengadopsi 3 langkah dalam pemidanaan. Pertama, hakim harus mengkalkulasikan formulasi penjatuhan pidana berdasarkan pedoman pemidanaan. Kedua, hakim mempertimbangkan kebijakan dalam pedoman pemidanaan yang memungkinan untuk keluar dari formulasi pemidanaan dalam pedoman. Ketiga, hakim harus berpedoman pada prinsip utama dalam 18. U.S.C. 3553 (a) untuk menentukan apakah ia akan mengikuti formulasi dalam pedoman pemidanaan atau memberlakukan kebijakan pemidanaan diluar formulasi dalam pedoman.
Sistem pemidanaan semacam ini memberikan kepastian berdasarkan pedoman pemidanaan yang diformulasikan oleh USSC, namun pada saat yang sama tetap memberikan ruang keadilan dan fleksibilitas bagi hakim berdasarkan fakta dan keadaan yang belum dijangkau oleh Pedoman. Berlakunya PERMA No.1 Tahun 2020 masih menyisakan persoalan yang harus segera diselesaikan, yaitu memperbaiki integritas, profesionalisme dan kualitas putusan hakim. Mahkamah Agung seharusnya juga dapat menjawab persoalan disparitas pada delik suap dan delik lainnya melalui rasionalisasi dan konsistensi putusannya, bagaimanapun pembentukan hukum oleh hakim seharusnya diaktualisasikan dalam bentuk putusan bukan peraturan.
Risiko lainnya, PERMA sebagaimana layaknya produk perundang-undangan juga berpeluang untuk diuji, bisa dibayangkan bagaimana kredibilitas Mahkamah Agung akan menjadi persoalan seandainya hasil judicial review membatalkan PERMA yang diterbitkan Mahkamah Agung (Pompe: 2012). Bersamaan dengan itu, mengingat Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA No.1 Tahun 2020 maka perlu pula menetapkan periode dan mekanisme review terhadap PERMA, demi memenuhi keadilan substantif yang terus berkembang di masyarakat.
*)Rasamala Aritonang, Praktisi Hukum dan Mahasiswa Program Doktor UNPAR