Staf Ahli OJK Ryan Kiryanto. Foto : Ist. |
“Kami masih terus menjalankan tupoksi kami yaitu menjaga stabilitas sistem keuangan sekaligus mengupayakan percepatan pemulihan ekonomi nasional,” kata Staf Ahli OJK Ryan Kiryanto seperti dilansir Antara, Rabu (3/9).
Menurutnya, perubahan regulasi merupakan domain politik sehingga OJK tidak masuk ke ranah tersebut namun tetap berada di ranah pengawasan terintegrasi sektor keuangan. OJK juga berupaya berkontribusi mendorong percepatan pemulihan ekonomi dampak pandemi Covid-19 dengan terbitnya regulasi yang memberikan relaksasi bagi pelaku sektor keuangan yakni POJK No.11 Tahun 2020 dan POJK No.14 Tahun 2020.
Meski begitu, Ryan mengatakan jika pengawasan sektor keuangan yang berbentuk konglomerasi usaha tidak berada dalam lembaga yang sama, berpotensi menimbulkan miskomunikasi, diskoordinasi hingga disharmonisasi. Ryan menambahkan di Indonesia terdapat sekitar 48 konglomerasi bisnis dengan bisnis yang induk usahanya adalah bank dan induk usaha non-bank, seperti asuransi atau sekuritas.
Dalam pemaparannya, Ryan menjelaskan ada tiga jenis konglomerasi keuangan di Indonesia yang juga lazim terjadi di sejumlah negara yakni kelompok vertikal, horizontal dan campuran atau mixed.
Untuk kelompok vertikal, kata dia, ada pemegang saham pengendali (PSP) dan pemegang saham lainnya dengan induk usahanya adalah bank dan bank ini memiliki perusahaan anak yakni asuransi, pembiayaan atau sekuritas.
Kemudian, kelompok horizontal dengan induk asuransi dan lembaga pembiayaan yang dikontrol oleh pihak yang sama yakni PSP dan PSP lainnya. Selanjutnya, kelompok campuran dengan PSP dan PSP lainnya memiliki tiga induk bisnis yakni bank, asuransi dan sekuritas dengan induk usaha bank memiliki perusahaan anak berbentuk pembiayaan dan induk usaha sekuritas memiliki perusahaan anak aset manajemen.
“Hadirnya OJK setelah krisis tahun 1998 dan 2008 adalah perlu hadirnya lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang sifatnya terintegrasi. Maka the beauty of pengawasan terintegrasi itu memang dimiliki OJK,” katanya.
Dewan Moneter
Seperti diketahui, Badan Legislasi DPR mulai menyusun draf Revisi Undang-Undang Perubahan Ketiga UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (RUU BI). Wacana pembentukan Dewan Moneter muncul dalam revisi UU BI tersebut. Pembentukan Dewan Moneter untuk membantu pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter masuk dalam pasal revisi ketiga UU BI.
Berdasarkan salinan draf perubahan ketiga UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pasal 9B ayat 1 menyatakan Dewan Moneter ini diketuai oleh Menteri Keuangan. Dewan Moneter ini terdiri dari lima anggota yaitu Menteri Keuangan, satu orang menteri membidani perekonomian, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dewan Moneter tersebut mempunyai fungsi untuk memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter, sejalan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Dengan adanya Dewan Moneter, maka BI akan menjadi lembaga negara independen yang berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenang, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal lain diatur UU.
Dalam UU lama, BI merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan wewenang, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak lain. Sementara itu, dalam pasal 10, ayat 1a, BI harus menetapkan sasaran moneter dengan mempertimbangkan target inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja.
Sebelumnya pencapaian target pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja tidak termasuk dalam penugasan BI dalam UU yang lama.
Pasal 11 ayat 4 ikut menyatakan BI dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban bersama BI dan pemerintah, apabila terdapat bank mengalami kesulitan keuangan berdampak sistemik. Dalam draf ini, di pasal 34 ayat 1, BI juga mendapatkan kembali pelaksanaan tugas pengawasan bank yang selama ini dilaksanakan oleh OJK.
Sesuai pasal 34 ayat 2, pengalihan tugas pengawasan bank kepada BI tersebut dilaksanakan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2023. Selanjutnya, pasal 55 ayat 4, juga memperbolehkan BI untuk membeli surat utang negara di pasar primer untuk operasi pengendalian moneter atau fasilitas pembiayaan darurat.
Sebagai informasi, UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI telah mengalami satu kali perubahan pada 2004 yang ditandai oleh pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2004.
Revisi ketiga ini sudah masuk dalam Prolegnas 2020-2024 sehingga menjadi salah satu prioritas pembahasan antara pemerintah dengan DPR dalam masa sidang ini. Terdapat beberapa alasan pengajuan revisi UU BI antara lain independensi yang berlebih dan tujuan bank sentral yang dipersempit mengakibatkan kebijakan moneter tidak berperan optimal dalam pembangunan ekonomi.
Selain itu kebijakan moneter dinilai tidak dapat berperan serta dalam situasi darurat yang membahayakan ekonomi negara. Kemudian kebijakan ekonomi makro yang efektif membutuhkan koordinasi moneter dan fiskal yang kuat untuk mendorong perekonomian, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Wacana penghilangan independensi BI tersebut mendapat kritik dari berbagai pihak. Ekonom Institute of Development for Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menyampaikan penggabungan kembali pengawasan jasa keuangan seperti perbankan dari OJK ke BI merupakan kemunduran. Menurutnya, integrasi pengawasan jasa keuangan tersebut kejahatan finansial masih tetap berisiko terjadi.
“Seharusnya perbaiki regulasi yang sudah ada sekarang bukannya mengembalikan seperti dulu. Itu artinya enggak mencerminkan sebuah aturan yang forward looking, menggambarkaan kedepan, justru malah balik ke belakang,” kata Eko.
Hal senada juga disampaikan Ekonom, Dradjad Wibowo yang menilai penghilangan independensi BI merupakan kemunduran dalam pengawasan sektor moneter dan keuangan. Dia menjelaskan kehadiran Perppu tersebut dapat menghilangkan independensi BI sebagai pengawas moneter karena pemerintah dapat mengintervensi kebijakan bank sentral. Dia juga mengkhawatirkan kepentingan politik akan terjadi saat independensi BI dihilangkan.
“Pemangkasan independensi mengembalikan ke jaman jahiliah. Gubernur (BI) bisa dengan mudah diberhentikan. Independensi diberikan agar investor percaya kebiajakan keuangan dan moneter diambil secara objektif dan analisis yang valid dan ilmiah,” jelas Drajad.(HK)